Senin, 05 Maret 2012

Surat dari Liana

Masih ingat dengan Liana? Baca di SINI kalau lupa atau belum tahu ;-)
Hari ini saya mendapatkan sepucuk surat dari sahabat saya itu. Sengaja saya tulis di sini karena ada pelajaran berharga yang telah disampaikan oleh Liana kepada saya melalui suratnya itu, dan saya ingin Anda juga menyimaknya :)
Hi Dear,
Terima kasih ya kau sudah membuatkan sebuah tulisan mengenai diriku. Entah mengapa, saat kubaca, kulihat ada jiwa di dalam tulisanmu itu, seakan-akan engkau sedang menulis buku harianmu sendiri. Aku masih ingat waktu itu kita sedang mengobrol panjang. Kita berkangen-kangenan karena sudah sekian lama tak bersua, katakanlah sebuah reuni bilateral. Lalu kau berkata bahwa kisah hidupku menarik untuk kau tulis. Kau meminta izin kepadaku untuk menuliskannya, dan aku pun setuju. Maka jadilah sebuah tulisan yang berjiwa itu…
Namun demikian kurasa masih ada yang kurang. Maaf lho, bukan aku mencari-cari kekurangan dari tulisanmu yang sudah indah luar biasa itu. Aku hanya ingin menambahkan beberapa hal supaya makin lengkap kisah yang tertulis di dalamnya. Ngga apa-apa kan?
Jadi begini,
Kau tahu kan aku ini suka sekali memanjat, dan akan selalu merambat untuk menemui surya yang nun jauh di atas sana. Tak mudah untuk mencapainya, butuh energi dan kesabaran yang luar biasa karena tak semua pohon memberiku izin untuk kulekati batangnya. Belum lagi hewan-hewan yang bergelantungan di tubuhku, mereka sering memaksaku untuk jatuh terjerembab kembali ke lantai bumi. Namun aku tak pernah menyerah, demi masa depanku, demi tujuan akhirku, aku akan terus berusaha. Tentunya tak sendirian, walau harus seorang diri pun aku sebenarnya mampu. Berjuang bersama-sama dengan yang lain terasa lebih menarik bagiku. Kami berkompetisi secara sehat dan bercanda-canda di sepanjang perjalanan kami.
Bekerja dan hidup bersama dengan yang lain tak hanya menyenangkan, tetapi juga bisa menimbulkan masalah baru. Apalagi dengan yang namanya si Benalu. Siapa sih yang mau hidup dengannya? Ia selalu memaksa aku, serta teman-temanku yang lain. Kami tak kuasa menolaknya karena dia tiba-tiba saja sudah menguasai hidup kami. Sekilas pandangan, dia memang menarik dan berwibawa dengan daunnya yang lebar, tebal kokoh, dan mengkilat itu. Akan tetapi coba perhatikan, bagaimana usaha yang dilakukannya untuk bertahan hidup? Ia tak menyerap air seperti kami, ia merampok air yang sudah kami bawa jauh-jauh dari tanah dengan susah payah. Ia telah memperalat burung untuk hinggap dan memperkenalkan dirinya kepada kami. Andai saja burung itu tahu bahwa ia sedang dimanfaatkan, aku yakin ia tak kan mau membantu si Benalu. Sungguh makhluk yang jahat dan licik dia itu.
Dear, kau boleh ambil nafas…
Sebagai makhluk hidup yang jauh dari kesempurnaan, dan dengan cara hidup seperti ini, kau tahu, aku kadang merasa lelah dengan perjuanganku. Tetapi aku tak pernah menyerah sebelum bisa kulihat senyum manis surya dan lembutnya belaian bayu. Aku tak pernah ingin membebani pohon untuk menopang dan membopong tubuhku ke atas, persis seperti yang telah kau tulis. Sebaliknya, aku sangat berterima kasih kepada mereka yang telah dengan tulus ikhlas menerimaku melekati, merayapi, dan merambati tubuh mereka sedemikian rupa.
Namun si Benalu itu tanpa permisi duduk melekat begitu saja di tubuhku, lebih tepat lagi kalau dikatakan sebagai: mencengkeram erat lenganku, memaksaku untuk membuatnya terus berdiri tegak bersamaku. Tak dihiraukannya aku yang kehabisan energi untuk membuatnya begitu. Rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan inilah satu-satunya alasanku untuk membantunya. Lebih dari itu, setelah mengetahui sifatnya, kalau aku boleh memilih, aku tidak ingin ia berada di sampingku terlalu lama. Jika ia tak mau pergi, biarkan aku saja yang pergi, seandainya aku bisa, tapi sayang aku tak kuasa melakukannya.
Dear,
Terima kasih ya sudah membaca suratku yang panjang ini. Di akhir surat ini aku ingin menyampaikan kepadamu sebaris kalimat yang amat sangat ingin sekali kusampaikan kepada si Benalu, tetapi aku tak sampai hati untuk mengatakannya secara langsung. Bayu tak datang hari ini untuk meniupkan kata-kataku ini kepadanya, jadi kusampaikan saja kepadamu. Well, kau tak harus berbuat apa-apa, kau tak harus menemui Benalu atau Bayu untuk menyampaikan pesanku. Dengan kau membaca suratku ini saja aku sudah merasa sangat lega. Aku yakin suatu saat Benalu akan mengerti tentang keluh kesahku ini, karena suatu saat, pada saat yang tepat setepat-tepatnya, tak kurang dan tak lebih, aku akan menjerit tepat di telinganya, meneriakkan sekencang-kencangnya aku mampu, kalimat terbaikku untuk memintanya berhenti mengambil sesuatu dariku lagi. Oh, ada yang salah. Aku tak meminta, aku tak memohon, tapi aku menyuruh, aku memaksa. Dia harus berhenti melakukan semua itu.
Kepada Benalu:
Hey, lihatlah takdirmu. Kau kuat dan berwibawa. Aku kecewa karena ternyata hatimu tak begitu. Kau ambil airku, kau injak tubuhku, kau tutupi daun-daun kecilku, kau cengkeram batang rapuhku, semua hanya untuk kepentinganmu. Mungkin kau begitu karena kau melihatku sebagai sosok yang kuat dan mandiri, penuh perjuangan dan tak pernah mengeluh apalagi berputus asa. Pernahkah kau bicara kepadaku, menanyakan isi hatiku, setidaknya meminta permisi untuk tumbuh bersama denganku? Seingatku tidak pernah. Tidak pernah sama sekali. Seandainya kau bertanya, maka akan ku jawab dengan tegas: TIDAK. TIDAK. TIDAK.

Dear,
Maafkan aku ya, aku telah menyita waktumu yang sangat berharga. Aku sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan kepadanya tentang isi hatiku. Aku sedang mencari waktu yang tepat. Sementara ini kubiarkan saja dia begitu, mudah-mudahan dia segera menyadarinya, sehingga aku tak perlu berkata lugas kepadanya. Aku tak ingin dia sakit hati, tetapi aku juga tak ingin menyakiti diriku sendiri. Aku harus mencari cara yang tepat. Dan waktu yang tepat.
Sampai di sini dulu suratku. Aku tak ingin memperpanjang lagi karena memang sudah sangat panjang. Terima kasih banyak ya atas perhatianmu. Jangan lupa, selalu ada waktuku untukmu. Datanglah kepadaku kapan saja dan kita akan mengobrol lagi sepanjang yang kau suka, seperti waktu itu.
Peluk cium,

O ya, ini foto si Benalu… Kau bisa melihatnya… Dia begitu kuat, kokoh, menarik, segar, dan berwibawa. Kau bisa jatuh cinta pada pandangan pertama.Tetapi jangan, JANGAN! Jangan sampai terkecoh, hati-hati dengan hatinya ya…

Jangan salah paham ya, aku tak memintamu untuk membencinya seperti halnya diriku membencinya. Di balik kelicikannya itu mungkin dia memiliki sifat yang baik, entahlah, yang jelas dia tak pernah menunjukkannya kepadaku. Oleh karena itu jangan membencinya karena aku. Siapa tahu dia berbuat keji terhadapku karena dia tak suka kepadaku dengan alasan yang aku tak tahu. Siapa tahu dia baik kepadamu, baik kepada yang lain, mereka yang bukan teman-temanku, karena semua teman-temanku mengeluh tentang dirinya. Yang jelas, berhati-hati saja lah. Kabari aku bila suatu saat kau bertemu dengannya, berkenalan dengannya, dan bergaul selama beberapa waktu dengannya, dan kau mendapatinya sebagai sosok yang baik :)

Hmm, benar juga kata Liana… perawakan Benalu sungguh menggoda. Siapa yang menyangka kalau di balik kekuatan dan kewibawaan itu dia sebenarnya lemah dan amat sangat tergantung sekali kepada yang lain? Rupanya kekuatan dan kewibawaan itu hanya kedok untuk menutupi kelemahan dan ketidakmandiriannya…. Baiklah, Liana, aku akan berhati-hati bila bertemu dengannya. Kuharap apa yang kau inginkan itu benar, bahwa di balik semua keburukan sifatnya masih ada setitik kebaikan yang bisa menyejukkan hati orang-orang di sekitarnya. Semoga.
Terima kasih, Liana sahabatku.,


Perkenalkan, namaku Liana

Akarku kuhunjamkan kuat-kuat menembus masuk ke dalam tanah,
mencari air demi memenuhi dahagaku yang menggebu mengharu biru.
Walau telah demikian eratnya, namun engkau masih dapat mencabutnya dengan kekuatan tanganmu, bila kau mau, kau tahu aku bukan tandinganmu.
Aku tak kan dapat mengimbangimu dengan kekuatan akarku mencengkeram bumi.
Dengan tercabutnya aku, tak jua kan menghentikan langkah dan hidupku,
hanya Sang Kuasa dan kehendak-Nya yang bisa menjadikanku begitu.
Bukan engkau, sama sekali bukan engkau.
Batangku panjang lagi langsing namun cukup bertenaga untuk merayap ke sana ke mari demi mencapai tujuan tunggalku: sang surya.
Saat aku mendekat padamu, memeluk, menciumi, merayapi, dan mencumbui ragamu yang kekar, bukan aku hendak memanfaatkanmu sedemikian rupa.
Semua kulakukan karena aku membutuhkan bantuanmu untuk bertemu sang surya.
Jika engkau berkeberatan menolongku, lepaskan saja aku, jatuhkan aku kembali ke bumi, pun aku tak kan pernah berhenti mengharap suryaku.
Ku yakin masih ada yang ikhlas membawaku ke atas sana, jika ia bukan engkau.
Daun-daun kecilku yang hijau, mereka lah yang setia menghamba pada sang surya.
Setiap hari mereka memandang angkasa sambil menghitung umurku,
merayu sang surya dan udara untuk memanjangkan hidupku,
memperindah tubuhku, hingga dapat menyenangkan ibunda alam semesta.
Tak kan pernah ku lupa tuk selalu memberikan hadiah-hadiah indah
nan cantik penuh dengan warna dan aroma,
sambil menabur benih tuk meneruskan silsilah hidup keluargaku.
Di ujung ragaku, sulur-sulur panjang itu membantuku mengejar mimpiku.
mereka yang tak henti-hentinya mencari tempat mendarat,
mengkait tempat-tempat tak bersyarat,
untuk mewujudkan harapanku menyentuh lembutnya awan-awan putih
yang berarak di langit, menari berlenggak-lenggok bagai gadis-gadis nan genit,
merasakan sejuknya sang bayu meniup tubuhku yang berkeringat dahsyat,
melegakan hati yang lelah namun tak pernah ingin mengeluh pasrah.
Peluh yang jatuh kubakar, kujadikan semangat agar ku tetap kuat,
demi terus merambat, melupakan segala penat yang melekat.
Bungaku belum jua tumbuh karena cita-citaku belum terwujud utuh.
Engkau bisa melihat saudara-saudaraku di sekelilingku,
demikianlah aku kelak kan berbunga, berbuah, dan dapat melestarikan jenisku.
Pabila engkau ingin melihatku berbunga indah seperti mereka,
ku mohon bantu aku tuk terus berusaha dan tak berputus asa.
Bukan aku sedang menghiba, hanya ku butuh dukungan
tuk bisa ke sana dan mewujudkan cita-cita, yang kukira kau pun akan suka.
Namaku Liana.
Aku tak butuh tanganmu untuk mencapai langit,
karena ku telah punya semua yang kubutuhkan walau tak sempurna.
Tanganmu hanya akan membuatku manja,
kala sulur-sulurku menjadi tergantung kepadamu.
Mereka tak kan lagi mau berpikir ke mana harus merayap,
mereka akan menutup mata, mendekap tanganmu serta merta,
menunggumu menuntun langkah mereka mengarah ke tujuan selanjutnya.
Bila sudah demikian,
dan kau telah memutuskan untuk meminang sulur-sulur tersebut
menjadi belahan jiwamu, kawan hidupmu, pengisi siang dan malammu,
jangan lagi engkau pernas lepaskan  dan tinggalkan.
Jika engkau lakukan itu, berarti engkau telah menghentikan mimpiku,
merusak jalan hidupku, menghancurkan harapan dan keinginanku.
Namun demikian, aku tetaplah Liana yang telah memiliki semua,
walau tak sempurna, semata-mata atas kebaikan dan karunia Sang Kuasa.
Sehingga tatkala kau hempaskan aku, aku tak kan pernah mati karenamu.
Aku telah hidup sebelum kedatanganmu, kini aku hidup bersamamu,
dan aku akan tetap hidup setelah kepergianmu.
Hanya saja, hidup denganmu pasti membuatku menjadi lebih sempurna,
sepanjang engkau tak manjakan diriku dan tak kau pangkasi sulur-sulurku.
Aku sangat berharap engkau tahu bagaimana cara hidup denganku.
Jika engkau memaksakan sesuatu yang bukan takdirku,
meski pemaksaan itu adalah takdirmu,
maka harus kurelakan engkau pergi.
Bagaimana pun juga namaku Liana, dan tak seorang pun bisa menggantinya,
pun diriku sendiri, karena di situlah sifat dan takdirku berpada jadi satu.
Aku tanaman liar, aku bukan tanaman hias.
Aku hidup bebas di dunia, bukan di pot dalam beranda.
Pupukku serasah hutan, bukan bahan kimia pabrikan.
Aku ingin selalu serasi dalam alam, bukan indah karena dipangkas dan ditanam.
Jangan bawa aku masuk ke dalam rumahmu, karena di alam bebas hidupku.
Tak kan kulihat lagi senyum surya sahabatku, dan itu berarti awal kematianku.
Sinar lampumu bisa membantu, tapi ku tak tahan dengan seringainya yang kaku.
Demikianlah aku,
Liana.
Bagi yang belum mengenalku, ini foto diriku :)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar