Senin, 05 Maret 2012

Suara Hati Sahabatku

Suara Hati Sahabatku

Dini hari tadi seorang sahabat mendatangiku, meminta waktuku barang sejenak untuk mendengarkan kisahnya. Aku senang sekali bisa menjadi tempat curahan hati sahabatku, karena dengan begitu aku bisa belajar lebih banyak mengenai liku-liku hidup ini. Tak pernah ada waktu yang terbuang untuk sebuah pelajaran dan berbagi pengalaman.
Aku bukan lah pendengar yang baik, sehingga aku merasa bahagia sekali ketika sahabatku memberiku kepercayaan untuk menyimpan isi hatinya di dalam telingaku. Sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepadanya adalah dengan memindahkan isi hatinya itu masuk ke kepalaku, menguncinya di otakku, dan tak kan pernah sekali pun membiarkannya keluar dari mulutku, kecuali saat aku bersamanya dan ia yang meminta.
Sungguh beruntungnya kita karena Tuhan menciptakan telinga dengan hanya satu jalan masuk dan tanpa jalan keluar di sisi yang lainnya. Dan bagi yang mengerti, konstruksi seperti ini sungguh bermakna tinggi. Hal ini lah yang telah membantuku untuk, seburuk-buruknya aku sebagai pendengar, setiap patah kata yang terlontar dari bibir sahabatku akan terdengar dengan jelas, mengalir ke dalam otakku, lalu tercetak dan tersimpan dengan manisnya di kepalaku, di tempat yang telah kusediakan khusus untuknya, terkunci dengan amat sangat erat dan rapat tanpa bisa keluar lagi.
Pagi ini dia duduk begitu dekat di sampingku, seolah dia adalah bayanganku. Ekspresi wajahnya kali ini tak bisa kutebak, karena pancaran matanya yang senantiasa berubah setiap saat. Pertama kali aku menatapnya, semenit yang lalu, ada seulas keraguan di sana, namun kemudian kulihat ada senyuman di matanya, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Namun beberapa detik kemudian ada sinar kebimbangan yang teramat sangat, bagaikan tabir yang tipis namun nyata, sontak mengeruhkan senyuman itu, menggantikannya dengan sebentuk ketidakpastian dengan guratan-guratan ketakutan di dalamnya.
“Apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku?”, tanya sahabatku itu. Suaranya lirih sekali tetapi cukup kuat untuk membuka semua ujung-ujung syarafku sehingga siap menerima getaran yang akan mengirim signal ke otakku dengan sigap, membuka gembok-gembok di pintu dan jendela ruang kecil yang ada di sudut terpencil di dalam otakku… “Ini tak boleh terjadi. Tidak. Tidak boleh sama sekali. Tetapi aku tak bisa melawannya. Aku tidak tahu bagaimana cara melawannya, aku tak kuasa, setidaknya hentikan semua ini supaya aku tidak terperosok lebih dalam lagi. Tolonglah aku, kumohon tolonglah aku” lanjutnya. Jemarinya yang dingin memegangi pergelangan tanganku, lebih tepat lagi kalau dikatakan mencengkeram. Sentuhan itu membuat rambut-rambut halus di sekujur tubuhku meremang. Ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Besar dan berat.
“Seperti biasa, kau bisa mengatakannya kepadaku dengan caramu sendiri. Aku akan berusaha untuk memahami caramu itu. Kalau kau tak tahu harus memulai dari mana, maka mulailah saja dari apa yang saat ini kau pikirkan. Jangan pikirkan sistematika, jangan permasalahkan kronologi. Biarkan aku saja yang bermain dengan potongan-potongan puzzle-mu itu. Asal kau berikan semuanya padaku, aku yakin aku bisa menyusunnya dengan baik untukmu. Tetapi jangan kuatir kalau ternyata kau tak bisa memberikannya semua. Aku tak akan memaksa. Aku tak akan menyuruhmu mencari. Aku tahu kau sudah lelah membawa semua potongan puzzle yang tak dapat kau susun itu. Kita bisa menemukan potongan yang hilang itu meskipun kita tak pernah mendapatkan wujudnya dan tak bisa memegangnya. Kita bisa menemukan polanya. Kita bisa menjawab teka-tekinya, ” jawabku.
Kutatap wajahnya, satu detik, dua detik, tiga detik… dan dia balik menatap wajahku, kemudian mengangguk perlahan. Lalu dia memalingkan wajahnya ke sudut kamarku, menyorotkan pandangannya dengan tajam ke tembok krem yang berhiaskan retakan akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Ketika kuikuti arah pandangannya, aku tahu bahwa ia tak sedang memperhatikan cacatnya dinding kamarku itu atau sedang mengikuti gerak-gerik seekor laba-laba kecil yang sedang sibuk sendiri, keasikan merajut sarang barunya. Meskipun matanya tak lagi bimbang, seperti saat pertama ia datang, namun pandangannya menerawang, jauh tinggi ke awang-awang.
“Apa yang kau rasakan ketika jiwamu yang telah lama kerontang mendapatkan kesejukan dari tetesan air hujan yang turun untuk pertama kalinya di penghujung musim kemarau yang panjang?” tanyanya.
“Kesejukan. Hatiku menjadi sesejuk air hujan dan buaian angin yang dingin yang sedang menerpaku saat itu,” jawabku.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan dengan hatimu yang sejuk itu?”
“Bersyukur.”
“Hanya itu?”
“Tentu saja tidak. Bersyukur itu langkah pertama. Selanjutnya aku harus menunjukkan dengan perbuatan bahwa aku sedang mensyukuri sesuatu.”
“Caranya?”
“Aku bersyukur karena hatiku telah disejukkan. Maka aku akan selalu menjaga diriku untuk selalu memiliki rasa yang sejuk ini. Dan aku akan berusaha untuk membawa dan mengalirkan kesejukan itu keluar, memenuhi sekitarku, supaya orang-orang bisa turut merasakan kesejukan yang sedang kurasakan.”
“Setelah itu?”
“Tak akan pernah ada akhir untuk mengalirkan kesejukan kepada orang-orang di sekitarmu, karena kau akan selalu menghadapi orang yang berbeda setiap hari, sekalipun kau berada di dalam rumah hanya dengan seorang teman. Temanmu tak akan berubah menjadi orang lain, namun hatinya bisa berubah setiap saat. Sejukkanlah ia ketika hatinya keras dan panas, tetapi jangan lupa sejukkan pula hatimu pada saat yang bersamaan. Dengan demikian, kekerasan dan panas hati tersebut akan menguap hilang, tak hanya yang ada pada dirinya tetapi juga pada dirimu. Kekerasan dan panas hati akan jauh dari kalian berdua, dan bukannya berpindah kepadamu atau berbalik lagi kepadanya.”
“Terima kasih. Sekarang aku siap untuk menceritakan sesuatu kepadamu.”
“Baiklah, silakan. Aku siap mendengarkan. Kau bisa gunakan pengandaian musim seperti yang baru saja kita bicarakan tadi kalau kau tidak ingin mengutarakannya secara eksplisit. Sepertinya aku sudah tahu arah pembicaraanmu.”
“O ya?”
“Sepertinya demikian.”
“Ah…”



“Aku tak pernah menyangka kalau musim kemarau tahun ini akan panjang sekali. Selama karirku menjadi petani bunga, seingatku aku belum pernah mengalami musim kemarau sepanjang ini. Musim kemarau tahun lalu cukup panjang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun tak sepanjang tahun ini. Sebagai petani bunga, keadaan seperti ini benar-benar bisa merugikanku. Aku harus pandai-pandai memutar otak supaya kualitas bungaku tetap terjaga, itu setidaknya, dan kalau bisa, mendapatkan keuntungan untuk menambah modal usahaku. Kalau aku hanya pasrah dengan keadaan tanpa berbuat sesuatu, sebentar lagi pasti tamat sudah riwayatku…”, sahabatku itu pun menghela nafas, sebelum ia melanjutkan kisahnya.
“Tak bisa kubayangkan betapa sakitnya ketika kita harus memulai semuanya dari nol lagi. Ibarat mendaki tebing yang tinggi dan terjal, satu kesalahan saja dalam melangkah akan menghempaskan tubuh kita jatuh kembali ke tanah. Nyerinya tubuh saat terhempas, dengan tulang-tulang yang patah, ditambah dengan luka-luka di tangan akibat mencengkeram dinding batu, dan kekecewaan di dalam hati, sungguh kita telah membuang-buang waktu, tenaga, dan pikiran. Perencanaan yang matang dan antisipasi terhadap kemungkinan terburuk harus dipikirkan sejak awal, jauh sebelum kita memutuskan untuk melangkah. Aku yakin kau juga pasti setuju dengan kata-kataku ini.” Ia menoleh ke arahku, dan aku membalasnya dengan manggut-manggut saja, tanpa kata.
“Aku terlanjur membeli benih bunga untuk kutanam di kebun kecil di depan rumahku, dan aku sudah menyemainya sejak beberapa bulan yang lalu. Benih ini tak kubeli dari toko tempat aku biasa membeli benih-benih tanamanku yang lain selama ini, sehingga aku tak yakin apakah kualitasnya sebaik benih-benihku yang lain. Tetanggaku lah yang merekomendasikan toko itu, jadi apa salahnya kalau kucoba. Dalam perjalananku ke toko benih yang dimaksud oleh tetanggaku itu, aku singgah sebentar di kebunnya untuk melihat-lihat. Kebunnya cukup bagus. Dia pasti telaten sekali merawat tanaman-tanamannya sehingga bisa tumbuh sesubur itu…”, ia berhenti untuk menelan ludah dan mengambil nafas lagi. Aku seharusnya sudah menghidangkan minuman untuknya, tetapi nanti saja lah, karena dia sedang berada tepat di tengah-tengah kisahnya. Tak baik apabila harus menghentikannya karena harus pergi menjerang air di dapur.
“Benih yang terbaik tak menjamin tanaman bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan panenan yang unggul tanpa perawatan yang baik. Sebaliknya, benih yang bermutu rendah bukan tak mungkin bisa menghasilkan panenan yang baik, asalkan dirawat dan dipupuk dengan baik. Meskipun demikian, hasilnya tetap tak bisa disamakan dengan benih berkualitas tinggi, akan tetapi juga tak boleh dianggap remeh dan dipandang dengan sebelah mata. Aku jadi ingat ketika temanku yang terpilih menjadi ketua perkumpulan petani bunga tahun ini mengunjungiku. Ia berkata tepat seperti apa yang kukatakan tadi, aku tadi hanya menirukan dia saja, sebenarnya. Ia juga menyebutkan tiga komponen kunci untuk sebuah keberhasilan, tidak hanya untuk pertanian bunga saja, tetapi untuk semua hal. Ya, betul, semua hal. Hebat kan? Semua hal yang ada di dunia ini memiliki kunci yang sama: input, proses, dan output. Atau benih, proses pemeliharaan dan perawatan, dan cara pemanenan, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kami, bahasa para petani bunga. Aku kagum sekali setelah mengetahui konsep ini. Konsep yang sederhana tetapi menyeluruh dan menentukan seberapa baik hasil yang ingin kita capai…”
“Dari situlah aku menjadi tak ragu lagi untuk mengikuti rekomendasinya. Karena aku belum mengetahui kualitas benihku yang baru, maka aku memperlakukannya seperti halnya benih-benih tanamanku yang lain. Aku berkebun seperti biasa… dengan cangkul yang sama, air, dan pupuk yang sama pula. Namun ada sesuatu yang berbeda, yaitu besarnya harapan di dalam hatiku, mengingat kualitas benih ini belum kuketahui. Kalau benihnya ternyata tak memuaskan, tetapi teknik pemeliharaanku cukup baik, maka aku yakin hasilnya pun tak akan mengecewakan. Aku terus berdoa dan selalu berharap yang terbaik untuk tanamanku tahun ini. Sesekali kuajak mereka berbicara sambil terus menyianginya. Ya, aku benar-benar mengajaknya berbicara seperti aku sedang berbicara denganmu. Kalau ada orang-orang yang melihatku sedang berbicara dengan biji pasti mereka akan mengira aku gila. Silakan saja.”
“Aku sebenarnya tak tahu apakah mereka bisa mendengarkan aku dan memahami bahasa manusia, tetapi aku tak peduli. Mereka juga makhluk hidup. Di dalam biji itu ada sel-sel yang sedang bekerja, dan sel-sel itu tanggap terhadap lingkungan di sekitarnya. Kusaksikan sendiri pada tanaman-tanamanku yang telah tumbuh besar: Apa yang mereka lakukan ketika terik matahari begitu kejam menyengat… Atau ketika angin bertiup terlampau kencang hingga hampir mematahkan tangkai-tangkai mereka… Atau ketika ada hama yang mencoba memakan daun-daun muda yang baru saja muncul… Atau… Ah malu aku mengatakannya… Ketika aku terlambat menyirami dan menyiangi mereka… Mereka bereaksi. Jadi kupikir mereka juga pasti mengerti apa yang kuinginkan dari mereka, walaupun aku tak mengerti bentuk pemahaman mereka terhadap apa yang kuucapkan. Mungkin mereka bisa membaca pikiran atau perasaanku, atau melihat ekspresiku? Tetapi aku sungguh tak bisa membaca ekspresi dari sebutir biji.”
“Apakah mungkin aku harus bertanya pada kucingku, karena ia sepertinya bisa berkomunikasi dengan para bunga? Aku sering melihatnya bermain-main di kebunku, pandangan mata dan gerak-geriknya terhadap para bunga seolah menunjukkan kalau mereka sedang berinteraksi…” Ia kembali menoleh kepadaku, meminta pendapatku. Kali ini aku membalasnya dengan mengangkat kedua bahuku. Sahabatku itu memang tak bisa memahami bahasa bunga atau biji, tetapi aku yakin ia mengerti bahasa bahu.
“Sama sekali tak ada keinginanku untuk mengeksploitasi mereka. Aku hanya ingin memaksimalkan apa yang mereka punya dan apa yang mereka bisa. Aku tak ingin memaksakan apa pun di luar kemampuan mereka. Setiap benih menyimpan potensi untuk tumbuh dengan maksimal, dan itulah yang kuharapkan. Potensi kadang hanya tersimpan saja, tak akan pernah muncul bila tak dirangsang dengan benar, maka sudah menjadi tugasku untuk memikirkan bagaimana cara untuk memunculkan potensi itu menjadi sebuah prestasi yang maksimal tanpa membuat mereka merasa terpaksa dan menderita. Penderitaan di luar batas kemampuan mereka, bukan penderitaan karena mereka enggan melakukannya. Terpaksa karena benar-benar tak bisa, bukan terpaksa karena tak mau berusaha.”
“Aku sempat kecewa karena benihnya agak lambat dalam berkecambah. Aku takut tanamanku tak akan bertahan lama karena musim tahun ini juga tak begitu baik. Seperti yang sudah kukatakan di awal tadi, musim kemarau tahun ini sangat panjang, sungguh menantangku, membuatku tak bisa tidur nyenyak. Terbayang kegagalan panen atau anjloknya harga bungaku di pasar karena kualitasnya yang di bawah rata-rata. Modal yang kukumpulkan bertahun-tahun lamanya bisa menguap begitu saja, kapan saja. Sungguh itu akan menjadi mimpi terburuk yang pernah kutemui secara nyata, tanpa aku harus tidur terlebih dahulu…”
“Akan tetapi muncul kembali harapanku setelah suatu hari kulihat kuncup daun mulai menyembul dari biji yang merekah. Aku merasa gembira sekali, apalagi daun-daun itu kemudian benar-benar tumbuh dengan baik, sampai kemarin sore saat untuk terakhir kalinya kulihat mereka sewaktu aku melangkah keluar kebun untuk pulang ke rumah. Aku tak percaya saat kuamati dari dekat tanaman-tanamanku itu, kulihat ada kuntum-kuntum mungil berwarna merah jambu di ujung tangkainya. Oh! Tanamanku mulai berbunga rupanya. Meskipun agak lambat berkecambah dan berbunga, tetapi ketika menyaksikan ada calon bunga pada tanamanku, senang sekali hatiku. Harapanku makin bertambah besar saja. Rasanya seperti aku sedang membangun sebuah gunung dari tanah, makin lama makin tinggi. Oh indahnya! Tetapi tadi malam ada sesuatu yang mulai mengganjal pikiranku. Aku tak bisa tidur karenanya. Itulah yang membawaku ke sini. Aku ingin menceritakannya kepadamu…”

Sahabatku mendadak diam. Kupalingkan wajahku menatapnya, kudapati ekspresi wajahnya yang sama persis seperti saat pertama ia datang kepadaku tadi. Pancaran mata yang berubah-ubah dari perasaan senang, takut, bimbang, gusar, gelisah, dan penuh harap, serta bibir yang sesekali menyunggingkan senyum kecil di kedua sudutnya, namun kemudian ditariknya kembali menjadi sebuah ekspresi datar yang tampak jelas kalau dia sedang berusaha menenangkan dirinya.
Kutepuk bahunya sambil berkata, “Baiklah. Kau bisa berhenti sebentar di sini. Aku mendengar bunyi ketel yang menandakan air yang kujerang tadi sudah mendidih. Kita bisa minum kopi dulu sebelum kau lanjutkan ceritamu.”
“Oh, ya, terima kasih. Kau sungguh sahabat yang baik. Kau belum bosan mendengarkanku, kan?”, ia bertanya sambil memandangku dengan penuh harap.
Ada sedikit kebingungan di sudut luar matanya. Aku bisa melihatnya. Ia sedang bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengenai kapan aku meninggalkannya untuk pergi ke dapur menjerang air. Aku pura-pura tidak tahu kalau aku mengetahui isi benaknya tentang perihal ketelku yang bersiul-siul makin keras itu. Aku tidak mau ia salah paham menganggapku diam-diam pergi meninggalkannya, tak menghiraukan kisah yang baru saja dimuntahkan dari mulutnya itu. Muntahan yang dahsyat, seakan lambung, usus, dan pankreasnya turut keluar bersama rentetan kata demi kata yang membanjiri pagiku hari ini.
“Tidak, aku tak pernah bosan mendengarkanmu. Tetapi sekarang aku harus meninggalkanmu sebentar untuk membuat kopi untuk kita berdua,” ujarku sambil tersenyum kecil, “Kalau kau mau, kau bisa membuat pengandaian yang baru untuk meneruskan ceritamu sembari menunggu…”
Sahabatku terkejut, kedua bola matanya langsung membesar. “Jadi kau sudah tahu kalau aku tadi sedang bercerita dengan pengandaian dan bukan hal yang sebenarnya?”
“Ya, sejak awal aku sudah tahu itu, dan aku sudah menerima dengan baik pesan di balik ceritamu itu.”
“Oh…”



Kami menyeruput sedikit demi sedikit kopi hitam nan panas di tengah dinginnya hawa dini hari ini. Uap panas kopi dari cangkir kami yang merayap naik, bertemu dan bersatu dengan kabut di udara yang menggeliat turun bagaikan ular naga, membentuk sebuah pergumulan yang indah menawan. Mengingatkanku akan lukisan-lukisan karya Affandi yang tak hanya kaya warna namun juga penuh sesak akan nuansa ekspresi dan interpretasi. Segera, aroma kopi yang khas menyeruak bercampur dengan bau air dalam kabut dan embun-embun yang mulai memperlihatkan eksistensinya di pucuk-pucuk dedaunan. Cairan hitam nan kental dan hangat itu pun membasuh dan memasuki kerongkongan kami, seakan-akan kemudian menyebar ke seluruh tubuh kami: membuka dan menerobos masuk ke dalam pembuluh-pembuluh darah yang sempit, melebarkannya, yang dengan segera melancarkan aliran darah hangat ke sekujur tubuh kami, merangsang aktivitas ujung-ujung sel-sel syaraf kami yang mati suri, membanjiri otot-otot kami yang mengkerut karena hawa dingin yang menusuk tulang. Kini semuanya telah meregang kembali hingga kami merasakan kesegaran yang luar biasa. Keseimbangan yang muncul dari perpaduan kesegaran dari dalam tubuh kami dan kesegaran dari lingkungan di sekitar kami mewujudkan sebuah harmoni yang begitu hidup.
“Silakan melanjutkan ceritamu,” kataku sembari menaruh cangkir yang isinya tinggal separuh di atas meja. Kusandarkan punggungku ke dinding, kurentangkan kedua tangan dan kakiku… menggeliat, hmm nikmat sekali rasanya. Kutengadahkan kepalaku, kubuka sedikit mulutku, dan sendawa-sendawa kecil itu pun membuat sahabatku terkekeh-kekeh.
“Kuakui aku sudah membuat kesalahan. Kesalahan besar yang fatal. Aku sudah berusaha meminta maaf kepada orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan hal ini, tetapi sepertinya mereka masih enggan memaafkanku. Sebagian lagi mengatakan “tak mau tahu” atau “tidak ada urusan lagi denganmu”. Tidak apa-apa. Kuterima semuanya dengan ikhlas, karena memang aku bersalah. Tak mudah untuk memberi maaf apalagi dengan hati yang sudah terluka parah,” kata sahabatku itu. Ketawanya langsung menghilang, pandangan matanya berubah meredup dan makin redup, bagaikan lampu pijar yang sudah berumur, waktunya telah habis menjadi penerang, sebentar lagi tiba saatnya untuk padam selamanya.
“Aku telah tertipu. Seandainya aku mendengarkan mereka, berpikir dengan logika, meninggalkan perasaan-perasaan itu, aku tak kan terlarut dalam rayuan sang penipu itu. Pasti tak begini akhir kisahku ini. Tapi semuanya sudah terjadi, bahkan sudah berlalu pergi, tak ada yang bisa diulangi, pun tidak seharusnya aku menyesali. Waktu yang kumiliki saat ini akan kugunakan untuk memperbaiki keadaan bila memang masih memungkinkan, bila tidak, setidaknya aku sudah mengupayakan.”
“Kau masih ingat benihku, kan?”
Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk, “Ya, ya, tentu saja. Benih yang kaubeli di toko baru itu. Belum ada satu jam yang lalu kau menceritakannya. Aku menyimak seluruh kisahmu meskipun aku sempat meninggalkanmu sebentar ke dapur untuk menjerang air. Ada apa dengan benih itu?”
“Aku pernah bercerita bahwa pertumbuhan dan perkembangannya sangatlah lambat. Meskipun sudah menghasilkan bunga tapi hasilnya tak seperti yang kuharapkan. Aku sedikit kecewa pada temanku yang merekomendasikan toko itu. Tapi aku juga tak bisa menyalahkannya karena kebun bunganya baik-baik saja. Barangkali tanahku yang tak cocok untuk benih itu. Entahlah… Sampai akhirnya pada suatu hari, seorang teman lain, pedagang sayuran, datang kepadaku dan menawarkan kerja sama untuk berbisnis sayuran. Dia pun bercerita banyak hal mengenai kebun sayurannya, pengalaman dagangnya, laba yang dihasilkannya, kehidupan rumah tangganya yang kian membaik dan sejahtera… Suatu hari aku diajaknya untuk menyaksikan langsung kebun sayurannya, kami memanen beberapa jenis sayuran, setelah itu kami berjalan ke pasar, aku menemaninya menjual hasil kebunnya itu, lalu pulangnya kami singgah di rumahnya, menikmati salad sayuran nan lezat bikinan istrinya sambil menghitung laba yang diperolehnya hari itu.”
“Tak kusangka aku terpesona dan mulai berminat mengikuti jejaknya, beralih dari petani bunga yang sudah kujalani bertahun-tahun lamanya menjadi petani sayuran. Masih ada keraguan dan kembimbangan di dalam sanubariku, sehingga pada pertemuan bulanan para petani bunga kusampaikan rencanaku itu sambil meminta pandangan dan pertimbangan dari mereka. Para senior mengatakan “jangan”, sebagian yang lain menyerahkan keputusannya kepadaku. Rupanya temanku si pedagang sayuran itu menyadari kebimbanganku. Dia terus meyakinkan diriku bahwa tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Siapa tahu rezekiku akan jauh lebih baik di bidang sayuran. Aku bingung, aku pusing, aku sakit kepala, mual, dan muntah-muntah. Selama satu pekan aku tak keluar rumah, berdiam diri saja sambil menimbang-nimbang dan merenungkan keputusan yang akan kuambil.”
“Suatu hari pintu rumahku diketuk dan tamu yang datang tak lain adalah temanku pedagang sayuran… “Bagaimana, kau sudah membuat keputusan? Mari kubantu dirimu untuk mempermudah mengambil keputusan. Kita bekerja sama saja, kita gunakan tanahmu untuk menanam bibit sayur milikku. Jadi kau tak usah membeli bibit sendiri, gunakan milikku yang sudah terbukti baik kualitasnya dan sungguh membanggakan hasil panennya. Selanjutnya, akan kubantu dirimu menjual hasil panen pertama sayuranmu ke pasar, di kiosku, kujual kepada para langgananku. Kau tak akan rugi, sayuranmu pasti laku, karena mereka telah mengenal diriku. Mengenai pembagian labanya kita pikirkan nanti saja, tergantung berapa banyak yang kita peroleh. Itu penawaran terbaikku. Kau tidak harus memutuskannya sekarang. Pikirkan lagi baik-baik, kalau kau setuju, datanglah ke rumahku. Istriku baru saja sukses bereksperimen dengan resep baru salad sayurannya. Ia ingin kau mencoba dan memberikan pendapat serta penilaian terhadap masakan barunya itu karena dia tak percaya pada lidahku yang selalu mengatakan masakannya enak atau enak sekali.”
“Baiklah. Beri aku waktu. Aku butuh sepekan lagi untuk berpikir. Terbersit di benakku untuk kembali meminta pertimbangan kepada perkumpulan petani bunga tapi rencana itu urung kulakukan. Aku merasa jawaban mereka nantinya pasti subjektif karena ini menyangkut keanggotaanku di perkumpulan itu. Siapa yang rela kehilangan seorang anggota yang setia dan selalu berkontribusi dengan baik demi kemajuan dan kemakmuran perkumpulan? Siapa yang mau kehilangan seorang anggota yang selalu menyumbangkan ide-ide cemerlang untuk menyusun strategi dan kompetisi bersaing yang sehat antar sesama perkumpulan petani bunga? Bila aku keluar dari keanggotaan, bisa jadi piala panen terbaik tahunan tak kan lagi tersimpan di balai desa kami. Piala kebanggaan yang telah terpajang di sana selama bertahun-tahun lamanya. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menghadiri pertemuan itu saja. Aku justru langsung pergi saja mengunjungi teman baruku si pedagang sayuran itu sebelum pikiranku berubah lagi. Aku berangkat dengan perut kosong, sebagai persiapan untuk melahap masakan resep baru istrinya.”
“Ehm, saat ini perutmu juga kosong, kan?” terima kasih Tuhan, aku telah memotong kalimatnya pada saat yang tepat. “Bagaimana kalau kita sarapan dulu sebentar, lalu kau lanjutkan lagi ceritamu. Sungguh kisah yang menakjubkan, kisah nyata pengalaman hidup yang bisa menginspirasi para penulis untuk membuat skrip film. Akan tetapi akan lebih baik lagi bila aku menyimaknya dengan perut yang sudah kenyang sehingga konsentrasiku tak kan terbuyarkan oleh bunyi lambungku yang kosong dan ususku yang menggeliat-geliat karena protes minta pekerjaan. Dan kau pun punya tambahan energi untuk mengeluarkan suara hatimu itu…”
“Ah, ya, boleh saja. Kita akan sarapan apa?” Dari nada bicaranya tampak bahwa ia tak berkeberatan sama sekali karena aku meminta jeda dahulu barang sebentar sebelum kisahnya usai.
“Apa yang kau mau? Aku akan membuatkanmu sarapan yang kau inginkan.”
“Apa saja yang kau punya?”
“Semangkuk muesli dan segelas jus jeruk?”
“Ah, tawaran yang menarik. Ya, aku setuju.”
Aku pun pergi ke dapur mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Sambil memasak, sesekali kuintip dia di ruang tengah, melihat apa yang dilakukannya sembari menungguku. Dia masih saja duduk di tempatnya, sama sekali tak bergerak, sambil membaca secarik koran usang terbitan beberapa hari yang lalu. Entah berita apa yang dibacanya, tampaknya ia serius sekali. Dan kini ia jatuh tertidur tepat pada saat sarapan kami siap untuk dihidangkan.


Aku sama sekali bukan tipe orang yang suka membuat bunyi-bunyian dari barang-barang yang kusentuh. Justru aku tak tahan mendengarnya… Piring, cangkir, mangkuk, dan peralatan makan lainnya, atau barang-barang dari bahan gelas dan keramik yang berdentingan… Ember, panci, dan perkakas lain dari plastik dan logam yang glondhangan… Pintu dan jendela yang dibuka atau ditutup dengan kasar semacam dibanting… Semuanya mengesankan bahwa orang-orang yang melakukan itu sedang mengamuk karena marah atau kecewa kepadaku. Waktu aku masih kecil dulu, aku takut sekali mendengarnya. Sungguh amat sangat takut sekali. Jantungku berdebar kencang, seluruh tubuhku gemetaran, keringat dingin bercucuran, dan semuanya berakhir dengan aku duduk bersembunyi di sudut ruangan sambil berurai air mata namun tanpa suara. Setelah aku dewasa, semuanya menjadi berbeda. Aku tak lagi menangis tatkala mendengarnya, namun aku justru tertawa dan bersorak-sorak, macam orang gila saja. Mungkin aku memang sudah gila, yah setidaknya ada gangguan atau kelainan, kalau tak mau dibilang sakit jiwa.
Kali ini aku terpaksa melakukan apa yang tak kusukai itu demi membangunkan sahabatku yang tertidur di atas koran yang tadi dibacanya. Kusenggol-senggolkan mangkuk berisi muesli dengan cangkir kopi yang sudah kosong, lalu kuambil sendok makan untuk mengaduk jus jeruk yang kutaruh dalam gelas tinggi ramping. Klonteng, klonteng… Ahh… Kupejamkan kedua mataku sambil meringis, mencoba bertahan dari siksaan bunyi-bunyian yang menjengkelkan itu. Rambut-rambut di sekujur tubuhku ikut berdiri, merinding…
“Oh, astaga, aku tertidur rupanya…” Terima kasih Tuhan, dia telah bangun. Aku hampir gila dengan suara-suara ini. Aku pun menyeringai lebar. Gembira. Lega. Telah berakhir penderitaan yang kubuat sendiri.
“Tidak apa-apa, aku maklum kok. Butuh energi yang tidak sedikit untuk mengungkapkan isi hatimu yang emosional itu. Itulah mengapa aku tadi memintamu berhenti untuk kita sarapan dulu. Kau butuh pasokan energi baru. Mari silakan…” kataku sambil menyeruput jus jerukku.
Lalu kami pun terlarut dalam keheningan, tak ada lagi percakapan, hanya bunyi kremus-kremus dari buah-buahan dan kriyuk-kriyuk emping yang kutambahkan dalam menu muesli-ku pagi ini, serta sesekali bunyi seruputan jus jeruk. Oh ya, satu lagi yang membuatku gembira dan lega, karena sahabatku ini makan dengan tenang dan anggunnya bak bangsawan yang tahu benar mengenai table manner, etika makan. Tak ada bunyi berdentingan sama sekali antara mangkuk dan sendok, apalagi mulut yang berkecap-kecap menjijikkan yang seringkali membuatku ingin cepat-cepat menghabiskan makanan dan pergi jauh-jauh sebelum aku muntah.
Dua puluh menit berlalu dan sarapan kami pun usai. Biasanya, begitu selesai makan, semua perangkat makan langsung kubawa ke dapur untuk dicuci. Namun hari ini kubiarkan saja mereka tetap berada di tempatnya, karena kulihat sahabatku itu sudah tak sabar ingin melanjutkan ceritanya lagi. Kuajak dirinya duduk di teras rumahku, sambil menikmati sejuknya udara pagi dan segarnya aroma daun-daunan yang terbawa oleh hembusan angin sepoi-sepoi.
“Bagaimana kelanjutan kisahmu?”, tanyaku membuka percakapan edisi ketiga kami pada hari ini setelah jeda kopi dan sarapan tadi.
“Sebelumnya aku ingin mengucapkan banyak terima kasih atas semuanya. Telingamu, jamuanmu, waktumu, kebaikan hatimu.. Bila kau tak ada, entah kepada siapa aku harus bercerita. Aku sudah bosan mengadu pada pohon-pohon, karena mereka tak merespon sama sekali. Ikan-ikan di akuariumku pun sepertinya sudah lelah melihatku berkomat-kamit di depan mereka sepanjang hari. Aku tak mungkin bicara dengan bunga-bungaku, karena pernah aku berkisah kepada mereka di suatu sore, aku ingat waktu itu langit berwarna lembayung, indah sekali… Kau tahu apa yang terjadi? Pagi harinya semua bungaku layu, seakan-akan mereka ikut berduka atas nasibku. Aku terharu mereka punya perasaan begitu, tapi sungguh aku tak mengharapkan seperti itu. Mereka justru membuatku makin sengsara saja karena hari itu aku jadi tak mendapat laba. Mana mungkin menjual bunga layu? Hmm… Bunga-bunga itu serba salah… Kalau aku jadi mereka, aku pasti juga bingung apa yang harus kulakukan, antara menunjukkan rasa empati sebagai sesama makhluk Illahi dan bersikap profesional sebagai bunga komersial…”
“Ahahaha… Ayolah, kau pikir apa gunanya teman kalau bukan untuk berbagi? Tidak ada satu pihak yang selalu diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan dalam sebuah hubungan pertemanan yang hakiki. Bukan begitu konsepnya. Kedua belah pihak mendapat keuntungan yang sebanding, bisa jadi wujudnya berbeda, akan tetapi bila ada neraca timbangan yang bisa mengukurnya dengan seksama, maka aku yakin kadarnya akan sama, beratnya seimbang, tak ada satu pihak yang mendapatkan keuntungan lebih dari yang lainnya. Itu konsep persahabatan yang sebenar-benarnya.”
“Nah, itu dia. Kupikir hubungan yang terjalin antara diriku dan temanku pedagang sayuran itu juga demikian halnya. Tawaran kerja sama dan bisnisnya kuanggap sebagai bentuk solidaritas dan keinginannya untuk menolongku secara ikhlas tanpa pamrih karena aku adalah orang baru yang sama sekali buta dalam perdagangan sayuran. Ternyata memang benar bahwa uang adalah sumber bencana dalam segala hal, termasuk dalam aktivitas interaksi antarmanusia. Sebuah hubungan yang tidak dilandasi dengan ketulusikhlasan, itikad baik, dan moral yang kuat, serta dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa dipikir panjang dengan logika, bisa tercemar menjadi bentuk-bentuk penyalahgunaan dan eksploitasi yang tidak senonoh apabila uang sudah masuk ke dalamnya, mengambil alih peran utama dan bertahta memegang kuasa. Dan itulah yang terjadi padaku…”
“Ketika teman atau sahabatmu mengajakmu berbisnis, segera tarik garis merah yang tebal dan jelas sebagai batasan antara personal dan profesional. Dengan alasan apapun jangan pernah sekalipun kau menerobos batasan itu walau apapun yang terjadi. Teman atau sahabat sejati pasti akan memahami sikap seperti ini, menghormati dan menghargai arti personal. Akan tetapi orang yang mengaku-ngaku adalah teman atau sahabat, mereka akan marah dan sakit hati karena menganggapmu keterlaluan memperlakukannya seperti itu. Hati-hati dengan orang yang marah dan sakit hati seperti ini, tanpa bermaksud berpikiran negatif, bisa jadi ia tersinggung karena kedoknya terbuka. Kalaupun tidak begitu, ia mungkin orang yang baik, hanya saja ia belum paham jalan pikiranmu. Bagaimana mungkin teman karib tidak mengerti atau salah paham dengan jalan pikiran sahabat baiknya?”
“Aku masih ingat betul kalimat demi kalimat yang diucapkannya ketika ia menawariku kerja sama itu, yang semuanya atas dasar murni setia kawan, katanya. Namun tiga bulan kemudian, yaitu pada masa panen raya tiba, semuanya menjadi terbuka jelas bagiku. Akan tetapi sayang semuanya sudah terlambat. Aku bukanlah sahabatnya, aku juga bukan partner dagangnya, aku adalah manusia yang telah digerogoti otaknya hingga aku tak layak lagi disebut manusia karena aku tak bisa berpikir lagi. Otakku tak berfungsi lagi, hanya menjadi sebongkah lemak tak berharga. Tak bisa menelorkan ide-ide cemerlang, tak bisa membuat keputusan yang terbaik, tak bisa menemukan solusi atas permasalahan-permasalahan. Telah kuturunkan derajatku sendiri menjadi seekor hewan rendah melata tak berharga yang berwujud manusia. Aku bekerja menghasilkan uang dengan memeras peluhku hingga kering tubuhku, dan ia mengambil semuanya begitu saja, seakan-akan aku ini kuda tua penarik delman yang setia dan ia adalah kusirnya. Ketika aku sudah tak punya apa-apa lagi, lalu ia pun menjadikanku budak bodoh hina dina tercela yang hanya bisa diserap tenaganya untuk bekerja, dan ia tak memberiku apa-apa, meski hanya perhatian sedikit pun…”
“Pada hari itu kupikir adalah hari terakhirku hidup di dunia ini. Aku lapar sekali tapi aku tak bisa makan, bahkan meneguk segelas air pun aku sudah tak mampu. Kepalaku berdenyut-denyut kepanasan, sementara tubuhku lemas dan menggigil kedinginan. Sistem tubuhku sudah rusak, iramanya sudah tak sinkron lagi karena terkacaukan oleh emosi yang mendalam. Ketika aku berangkat tidur pada malam harinya, aku sudah siap untuk tak bangun lagi esok pagi. Namun Tuhan masih menginginkanku hidup. Malam itu aku bermimpi tentangmu, melihat wajahmu yang cerah dengan senyuman yang merekah. Mimpi itulah yang menuntunku untuk datang kepadamu hari ini…”
Kupandangi sahabatku itu. Antara raut muka dan sikapnya sungguh bagaikan dua dunia yang bertolak belakang. Raut muka itu penuh dengan duka nestapa kesedihan, penderitaan, dan penyesalan. Namun sikap tubuhnya menunjukkan kegusaran dan kegeraman yang mendalam tak terkirakan. Tak ada kiasan yang bisa kulukiskan untuk menggambarkan amarah yang tengah mendidih dan meletup-letup di dalam dirinya. Aku yakin kondisinya tak akan lebih parah daripada saat ini. Aku tahu persis dirinya. Ia bukanlah orang yang akan membabi buta melampiaskan amarahnya kepada hal-hal apapun di sekitarnya, apalagi dengan benda-benda tak bernyawa yang tidak punya alasan untuk diikutsertakan dalam perasaannya. Ia juga bukan tipe orang yang akan menunjukkan kepada khalayak tentang perasaannya dengan menyakiti dirinya secara fisik. Ia adalah orang yang berusaha mati-matian meredam emosinya, mengurung perasaannya di dalam jiwanya sendiri. Ia selalu mencari cara untuk menjadikan emosinya itu sebagai energi yang positif bagi kehidupannya maupun untuk membahagiakan orang-orang yang dikasihinya. Ia hanya butuh sepasang telinga untuk mendengarkan, sebuah tepukan lembut di bahu untuk menenangkannya, dan sebaris kalimat yang melegakannya, meringankan beban hidup yang tengah dipikulnya sendirian.
Untuk itulah kutepuk bahunya dengan lembut seraya berkata, “Aku memahamimu sepenuhnya. Jalan kehidupan itu selalu dibuat berliku, naik turun, dan berbatu. Memberi kesempatan kepada semua orang untuk gagal, supaya mereka berusaha lagi hingga tahu artinya berhasil. Memberi kesempatan kepada semua orang hingga khilaf dan berdosa, untuk kemudian bertaubat dan kembali menyusuri jalan yang benar dengan penuh kesadaran. Memberi kesempatan kepada semua orang untuk mengetahui yang salah, supaya mereka memperbaiki dan mengerti mana yang benar. Itulah yang membuat kita menjadi kuat dan tegar. Tough. Kegagalan, dosa, dan kesalahan itu kemudian kita jadikan sebagai pengalaman supaya kita tidak melakukannya lagi. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Tidak ada yang menyangkalnya.”
Sahabatku pun menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. Bukan tangisan kedukaan, namun tangisan kelegaan. Sunggingan bibirnya dan sudut luar matanya menyatakan hal itu dengan jelas. Ia akan mengatakan sesuatu ketika aku juga akan berucap…
“Kau tidak bisa memaksa teman-temanmu di perkumpulan petani bunga untuk memaafkan dan menerimamu kembali. Kau juga tidak perlu menunjukkan rasa penyesalan dan rasa bersalahmu setiap saat kau bertemu dengan meraka di jalanan. Doakan saja mereka hal-hal yang terbaik. Bersihkan hatimu dan maafkan temanmu si pedagang sayuran itu. Maafkan dia. Maafkan dia. Maafkan dia. Lalu mulailah dengan kehidupanmu yang baru, kau bisa kembali menjadi petani bunga, atau menjadi penulis sepertiku, atau apa saja yang kau mau dan kau yakin kau mampu tanpa ada ragu. Tetapi untuk sementara waktu jangan sentuh sayuran-sayuran itu karena hatimu masih rapuh. Itu saja yang harus kau lakukan. Selanjutnya serahkan semuanya kepada Tuhan, biarkan Dia yang menyelesaikan.”

Sahabatku mengangguk perlahan. “Aku baru saja mau menanyakannya, tetapi kau ternyata sudah menjawab sebelum pertanyaan itu sempat kulontarkan. Terima kasih, kau sungguh mengerti diriku.”
“Itulah seorang teman/sahabat. Apabila tidak bisa begitu jangan pernah mengatakan bahwa kau adalah seorang teman/sahabat.”


tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar