Suara Hati Sahabatku
Aku bukan lah pendengar yang baik, sehingga aku merasa bahagia sekali ketika sahabatku memberiku kepercayaan untuk menyimpan isi hatinya di dalam telingaku. Sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepadanya adalah dengan memindahkan isi hatinya itu masuk ke kepalaku, menguncinya di otakku, dan tak kan pernah sekali pun membiarkannya keluar dari mulutku, kecuali saat aku bersamanya dan ia yang meminta.
Sungguh beruntungnya kita karena Tuhan menciptakan telinga dengan hanya satu jalan masuk dan tanpa jalan keluar di sisi yang lainnya. Dan bagi yang mengerti, konstruksi seperti ini sungguh bermakna tinggi. Hal ini lah yang telah membantuku untuk, seburuk-buruknya aku sebagai pendengar, setiap patah kata yang terlontar dari bibir sahabatku akan terdengar dengan jelas, mengalir ke dalam otakku, lalu tercetak dan tersimpan dengan manisnya di kepalaku, di tempat yang telah kusediakan khusus untuknya, terkunci dengan amat sangat erat dan rapat tanpa bisa keluar lagi.
“Apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku?”, tanya sahabatku itu. Suaranya lirih sekali tetapi cukup kuat untuk membuka semua ujung-ujung syarafku sehingga siap menerima getaran yang akan mengirim signal ke otakku dengan sigap, membuka gembok-gembok di pintu dan jendela ruang kecil yang ada di sudut terpencil di dalam otakku… “Ini tak boleh terjadi. Tidak. Tidak boleh sama sekali. Tetapi aku tak bisa melawannya. Aku tidak tahu bagaimana cara melawannya, aku tak kuasa, setidaknya hentikan semua ini supaya aku tidak terperosok lebih dalam lagi. Tolonglah aku, kumohon tolonglah aku” lanjutnya. Jemarinya yang dingin memegangi pergelangan tanganku, lebih tepat lagi kalau dikatakan mencengkeram. Sentuhan itu membuat rambut-rambut halus di sekujur tubuhku meremang. Ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Besar dan berat.
Kutatap wajahnya, satu detik, dua detik, tiga detik… dan dia balik menatap wajahku, kemudian mengangguk perlahan. Lalu dia memalingkan wajahnya ke sudut kamarku, menyorotkan pandangannya dengan tajam ke tembok krem yang berhiaskan retakan akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Ketika kuikuti arah pandangannya, aku tahu bahwa ia tak sedang memperhatikan cacatnya dinding kamarku itu atau sedang mengikuti gerak-gerik seekor laba-laba kecil yang sedang sibuk sendiri, keasikan merajut sarang barunya. Meskipun matanya tak lagi bimbang, seperti saat pertama ia datang, namun pandangannya menerawang, jauh tinggi ke awang-awang.
“Kesejukan. Hatiku menjadi sesejuk air hujan dan buaian angin yang dingin yang sedang menerpaku saat itu,” jawabku.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan dengan hatimu yang sejuk itu?”
“Bersyukur.”
“Hanya itu?”
“Tentu saja tidak. Bersyukur itu langkah pertama. Selanjutnya aku harus menunjukkan dengan perbuatan bahwa aku sedang mensyukuri sesuatu.”
“Caranya?”
“Aku bersyukur karena hatiku telah disejukkan. Maka aku akan selalu menjaga diriku untuk selalu memiliki rasa yang sejuk ini. Dan aku akan berusaha untuk membawa dan mengalirkan kesejukan itu keluar, memenuhi sekitarku, supaya orang-orang bisa turut merasakan kesejukan yang sedang kurasakan.”
“Setelah itu?”
“Terima kasih. Sekarang aku siap untuk menceritakan sesuatu kepadamu.”
“Baiklah, silakan. Aku siap mendengarkan. Kau bisa gunakan pengandaian musim seperti yang baru saja kita bicarakan tadi kalau kau tidak ingin mengutarakannya secara eksplisit. Sepertinya aku sudah tahu arah pembicaraanmu.”
“O ya?”
“Sepertinya demikian.”
“Ah…”
“Tak bisa kubayangkan betapa sakitnya ketika kita harus memulai semuanya dari nol lagi. Ibarat mendaki tebing yang tinggi dan terjal, satu kesalahan saja dalam melangkah akan menghempaskan tubuh kita jatuh kembali ke tanah. Nyerinya tubuh saat terhempas, dengan tulang-tulang yang patah, ditambah dengan luka-luka di tangan akibat mencengkeram dinding batu, dan kekecewaan di dalam hati, sungguh kita telah membuang-buang waktu, tenaga, dan pikiran. Perencanaan yang matang dan antisipasi terhadap kemungkinan terburuk harus dipikirkan sejak awal, jauh sebelum kita memutuskan untuk melangkah. Aku yakin kau juga pasti setuju dengan kata-kataku ini.” Ia menoleh ke arahku, dan aku membalasnya dengan manggut-manggut saja, tanpa kata.
“Benih yang terbaik tak menjamin tanaman bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan panenan yang unggul tanpa perawatan yang baik. Sebaliknya, benih yang bermutu rendah bukan tak mungkin bisa menghasilkan panenan yang baik, asalkan dirawat dan dipupuk dengan baik. Meskipun demikian, hasilnya tetap tak bisa disamakan dengan benih berkualitas tinggi, akan tetapi juga tak boleh dianggap remeh dan dipandang dengan sebelah mata. Aku jadi ingat ketika temanku yang terpilih menjadi ketua perkumpulan petani bunga tahun ini mengunjungiku. Ia berkata tepat seperti apa yang kukatakan tadi, aku tadi hanya menirukan dia saja, sebenarnya. Ia juga menyebutkan tiga komponen kunci untuk sebuah keberhasilan, tidak hanya untuk pertanian bunga saja, tetapi untuk semua hal. Ya, betul, semua hal. Hebat kan? Semua hal yang ada di dunia ini memiliki kunci yang sama: input, proses, dan output. Atau benih, proses pemeliharaan dan perawatan, dan cara pemanenan, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa kami, bahasa para petani bunga. Aku kagum sekali setelah mengetahui konsep ini. Konsep yang sederhana tetapi menyeluruh dan menentukan seberapa baik hasil yang ingin kita capai…”
“Aku sebenarnya tak tahu apakah mereka bisa mendengarkan aku dan memahami bahasa manusia, tetapi aku tak peduli. Mereka juga makhluk hidup. Di dalam biji itu ada sel-sel yang sedang bekerja, dan sel-sel itu tanggap terhadap lingkungan di sekitarnya. Kusaksikan sendiri pada tanaman-tanamanku yang telah tumbuh besar: Apa yang mereka lakukan ketika terik matahari begitu kejam menyengat… Atau ketika angin bertiup terlampau kencang hingga hampir mematahkan tangkai-tangkai mereka… Atau ketika ada hama yang mencoba memakan daun-daun muda yang baru saja muncul… Atau… Ah malu aku mengatakannya… Ketika aku terlambat menyirami dan menyiangi mereka… Mereka bereaksi. Jadi kupikir mereka juga pasti mengerti apa yang kuinginkan dari mereka, walaupun aku tak mengerti bentuk pemahaman mereka terhadap apa yang kuucapkan. Mungkin mereka bisa membaca pikiran atau perasaanku, atau melihat ekspresiku? Tetapi aku sungguh tak bisa membaca ekspresi dari sebutir biji.”
“Sama sekali tak ada keinginanku untuk mengeksploitasi mereka. Aku hanya ingin memaksimalkan apa yang mereka punya dan apa yang mereka bisa. Aku tak ingin memaksakan apa pun di luar kemampuan mereka. Setiap benih menyimpan potensi untuk tumbuh dengan maksimal, dan itulah yang kuharapkan. Potensi kadang hanya tersimpan saja, tak akan pernah muncul bila tak dirangsang dengan benar, maka sudah menjadi tugasku untuk memikirkan bagaimana cara untuk memunculkan potensi itu menjadi sebuah prestasi yang maksimal tanpa membuat mereka merasa terpaksa dan menderita. Penderitaan di luar batas kemampuan mereka, bukan penderitaan karena mereka enggan melakukannya. Terpaksa karena benar-benar tak bisa, bukan terpaksa karena tak mau berusaha.”
“Akan tetapi muncul kembali harapanku setelah suatu hari kulihat kuncup daun mulai menyembul dari biji yang merekah. Aku merasa gembira sekali, apalagi daun-daun itu kemudian benar-benar tumbuh dengan baik, sampai kemarin sore saat untuk terakhir kalinya kulihat mereka sewaktu aku melangkah keluar kebun untuk pulang ke rumah. Aku tak percaya saat kuamati dari dekat tanaman-tanamanku itu, kulihat ada kuntum-kuntum mungil berwarna merah jambu di ujung tangkainya. Oh! Tanamanku mulai berbunga rupanya. Meskipun agak lambat berkecambah dan berbunga, tetapi ketika menyaksikan ada calon bunga pada tanamanku, senang sekali hatiku. Harapanku makin bertambah besar saja. Rasanya seperti aku sedang membangun sebuah gunung dari tanah, makin lama makin tinggi. Oh indahnya! Tetapi tadi malam ada sesuatu yang mulai mengganjal pikiranku. Aku tak bisa tidur karenanya. Itulah yang membawaku ke sini. Aku ingin menceritakannya kepadamu…”
Sahabatku mendadak diam. Kupalingkan wajahku menatapnya, kudapati ekspresi wajahnya yang sama persis seperti saat pertama ia datang kepadaku tadi. Pancaran mata yang berubah-ubah dari perasaan senang, takut, bimbang, gusar, gelisah, dan penuh harap, serta bibir yang sesekali menyunggingkan senyum kecil di kedua sudutnya, namun kemudian ditariknya kembali menjadi sebuah ekspresi datar yang tampak jelas kalau dia sedang berusaha menenangkan dirinya.
Kutepuk bahunya sambil berkata, “Baiklah. Kau bisa berhenti sebentar di sini. Aku mendengar bunyi ketel yang menandakan air yang kujerang tadi sudah mendidih. Kita bisa minum kopi dulu sebelum kau lanjutkan ceritamu.”
“Oh, ya, terima kasih. Kau sungguh sahabat yang baik. Kau belum bosan mendengarkanku, kan?”, ia bertanya sambil memandangku dengan penuh harap.
Ada sedikit kebingungan di sudut luar matanya. Aku bisa melihatnya. Ia sedang bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengenai kapan aku meninggalkannya untuk pergi ke dapur menjerang air. Aku pura-pura tidak tahu kalau aku mengetahui isi benaknya tentang perihal ketelku yang bersiul-siul makin keras itu. Aku tidak mau ia salah paham menganggapku diam-diam pergi meninggalkannya, tak menghiraukan kisah yang baru saja dimuntahkan dari mulutnya itu. Muntahan yang dahsyat, seakan lambung, usus, dan pankreasnya turut keluar bersama rentetan kata demi kata yang membanjiri pagiku hari ini.
“Tidak, aku tak pernah bosan mendengarkanmu. Tetapi sekarang aku harus meninggalkanmu sebentar untuk membuat kopi untuk kita berdua,” ujarku sambil tersenyum kecil, “Kalau kau mau, kau bisa membuat pengandaian yang baru untuk meneruskan ceritamu sembari menunggu…”
Sahabatku terkejut, kedua bola matanya langsung membesar. “Jadi kau sudah tahu kalau aku tadi sedang bercerita dengan pengandaian dan bukan hal yang sebenarnya?”
“Ya, sejak awal aku sudah tahu itu, dan aku sudah menerima dengan baik pesan di balik ceritamu itu.”
“Oh…”
“Silakan melanjutkan ceritamu,” kataku sembari menaruh cangkir yang isinya tinggal separuh di atas meja. Kusandarkan punggungku ke dinding, kurentangkan kedua tangan dan kakiku… menggeliat, hmm nikmat sekali rasanya. Kutengadahkan kepalaku, kubuka sedikit mulutku, dan sendawa-sendawa kecil itu pun membuat sahabatku terkekeh-kekeh.
“Aku telah tertipu. Seandainya aku mendengarkan mereka, berpikir dengan logika, meninggalkan perasaan-perasaan itu, aku tak kan terlarut dalam rayuan sang penipu itu. Pasti tak begini akhir kisahku ini. Tapi semuanya sudah terjadi, bahkan sudah berlalu pergi, tak ada yang bisa diulangi, pun tidak seharusnya aku menyesali. Waktu yang kumiliki saat ini akan kugunakan untuk memperbaiki keadaan bila memang masih memungkinkan, bila tidak, setidaknya aku sudah mengupayakan.”
“Kau masih ingat benihku, kan?”
Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk, “Ya, ya, tentu saja. Benih yang kaubeli di toko baru itu. Belum ada satu jam yang lalu kau menceritakannya. Aku menyimak seluruh kisahmu meskipun aku sempat meninggalkanmu sebentar ke dapur untuk menjerang air. Ada apa dengan benih itu?”
“Tak kusangka aku terpesona dan mulai berminat mengikuti jejaknya, beralih dari petani bunga yang sudah kujalani bertahun-tahun lamanya menjadi petani sayuran. Masih ada keraguan dan kembimbangan di dalam sanubariku, sehingga pada pertemuan bulanan para petani bunga kusampaikan rencanaku itu sambil meminta pandangan dan pertimbangan dari mereka. Para senior mengatakan “jangan”, sebagian yang lain menyerahkan keputusannya kepadaku. Rupanya temanku si pedagang sayuran itu menyadari kebimbanganku. Dia terus meyakinkan diriku bahwa tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Siapa tahu rezekiku akan jauh lebih baik di bidang sayuran. Aku bingung, aku pusing, aku sakit kepala, mual, dan muntah-muntah. Selama satu pekan aku tak keluar rumah, berdiam diri saja sambil menimbang-nimbang dan merenungkan keputusan yang akan kuambil.”
“Ehm, saat ini perutmu juga kosong, kan?” terima kasih Tuhan, aku telah memotong kalimatnya pada saat yang tepat. “Bagaimana kalau kita sarapan dulu sebentar, lalu kau lanjutkan lagi ceritamu. Sungguh kisah yang menakjubkan, kisah nyata pengalaman hidup yang bisa menginspirasi para penulis untuk membuat skrip film. Akan tetapi akan lebih baik lagi bila aku menyimaknya dengan perut yang sudah kenyang sehingga konsentrasiku tak kan terbuyarkan oleh bunyi lambungku yang kosong dan ususku yang menggeliat-geliat karena protes minta pekerjaan. Dan kau pun punya tambahan energi untuk mengeluarkan suara hatimu itu…”
“Apa yang kau mau? Aku akan membuatkanmu sarapan yang kau inginkan.”
“Apa saja yang kau punya?”
“Semangkuk muesli dan segelas jus jeruk?”
“Ah, tawaran yang menarik. Ya, aku setuju.”
Aku pun pergi ke dapur mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Sambil memasak, sesekali kuintip dia di ruang tengah, melihat apa yang dilakukannya sembari menungguku. Dia masih saja duduk di tempatnya, sama sekali tak bergerak, sambil membaca secarik koran usang terbitan beberapa hari yang lalu. Entah berita apa yang dibacanya, tampaknya ia serius sekali. Dan kini ia jatuh tertidur tepat pada saat sarapan kami siap untuk dihidangkan.
Kali ini aku terpaksa melakukan apa yang tak kusukai itu demi membangunkan sahabatku yang tertidur di atas koran yang tadi dibacanya. Kusenggol-senggolkan mangkuk berisi muesli dengan cangkir kopi yang sudah kosong, lalu kuambil sendok makan untuk mengaduk jus jeruk yang kutaruh dalam gelas tinggi ramping. Klonteng, klonteng… Ahh… Kupejamkan kedua mataku sambil meringis, mencoba bertahan dari siksaan bunyi-bunyian yang menjengkelkan itu. Rambut-rambut di sekujur tubuhku ikut berdiri, merinding…
“Tidak apa-apa, aku maklum kok. Butuh energi yang tidak sedikit untuk mengungkapkan isi hatimu yang emosional itu. Itulah mengapa aku tadi memintamu berhenti untuk kita sarapan dulu. Kau butuh pasokan energi baru. Mari silakan…” kataku sambil menyeruput jus jerukku.
Lalu kami pun terlarut dalam keheningan, tak ada lagi percakapan, hanya bunyi kremus-kremus dari buah-buahan dan kriyuk-kriyuk emping yang kutambahkan dalam menu muesli-ku pagi ini, serta sesekali bunyi seruputan jus jeruk. Oh ya, satu lagi yang membuatku gembira dan lega, karena sahabatku ini makan dengan tenang dan anggunnya bak bangsawan yang tahu benar mengenai table manner, etika makan. Tak ada bunyi berdentingan sama sekali antara mangkuk dan sendok, apalagi mulut yang berkecap-kecap menjijikkan yang seringkali membuatku ingin cepat-cepat menghabiskan makanan dan pergi jauh-jauh sebelum aku muntah.
“Bagaimana kelanjutan kisahmu?”, tanyaku membuka percakapan edisi ketiga kami pada hari ini setelah jeda kopi dan sarapan tadi.
“Sebelumnya aku ingin mengucapkan banyak terima kasih atas semuanya. Telingamu, jamuanmu, waktumu, kebaikan hatimu.. Bila kau tak ada, entah kepada siapa aku harus bercerita. Aku sudah bosan mengadu pada pohon-pohon, karena mereka tak merespon sama sekali. Ikan-ikan di akuariumku pun sepertinya sudah lelah melihatku berkomat-kamit di depan mereka sepanjang hari. Aku tak mungkin bicara dengan bunga-bungaku, karena pernah aku berkisah kepada mereka di suatu sore, aku ingat waktu itu langit berwarna lembayung, indah sekali… Kau tahu apa yang terjadi? Pagi harinya semua bungaku layu, seakan-akan mereka ikut berduka atas nasibku. Aku terharu mereka punya perasaan begitu, tapi sungguh aku tak mengharapkan seperti itu. Mereka justru membuatku makin sengsara saja karena hari itu aku jadi tak mendapat laba. Mana mungkin menjual bunga layu? Hmm… Bunga-bunga itu serba salah… Kalau aku jadi mereka, aku pasti juga bingung apa yang harus kulakukan, antara menunjukkan rasa empati sebagai sesama makhluk Illahi dan bersikap profesional sebagai bunga komersial…”
“Nah, itu dia. Kupikir hubungan yang terjalin antara diriku dan temanku pedagang sayuran itu juga demikian halnya. Tawaran kerja sama dan bisnisnya kuanggap sebagai bentuk solidaritas dan keinginannya untuk menolongku secara ikhlas tanpa pamrih karena aku adalah orang baru yang sama sekali buta dalam perdagangan sayuran. Ternyata memang benar bahwa uang adalah sumber bencana dalam segala hal, termasuk dalam aktivitas interaksi antarmanusia. Sebuah hubungan yang tidak dilandasi dengan ketulusikhlasan, itikad baik, dan moral yang kuat, serta dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa dipikir panjang dengan logika, bisa tercemar menjadi bentuk-bentuk penyalahgunaan dan eksploitasi yang tidak senonoh apabila uang sudah masuk ke dalamnya, mengambil alih peran utama dan bertahta memegang kuasa. Dan itulah yang terjadi padaku…”
“Pada hari itu kupikir adalah hari terakhirku hidup di dunia ini. Aku lapar sekali tapi aku tak bisa makan, bahkan meneguk segelas air pun aku sudah tak mampu. Kepalaku berdenyut-denyut kepanasan, sementara tubuhku lemas dan menggigil kedinginan. Sistem tubuhku sudah rusak, iramanya sudah tak sinkron lagi karena terkacaukan oleh emosi yang mendalam. Ketika aku berangkat tidur pada malam harinya, aku sudah siap untuk tak bangun lagi esok pagi. Namun Tuhan masih menginginkanku hidup. Malam itu aku bermimpi tentangmu, melihat wajahmu yang cerah dengan senyuman yang merekah. Mimpi itulah yang menuntunku untuk datang kepadamu hari ini…”
Sahabatku pun menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. Bukan tangisan kedukaan, namun tangisan kelegaan. Sunggingan bibirnya dan sudut luar matanya menyatakan hal itu dengan jelas. Ia akan mengatakan sesuatu ketika aku juga akan berucap…
“Kau tidak bisa memaksa teman-temanmu di perkumpulan petani bunga untuk memaafkan dan menerimamu kembali. Kau juga tidak perlu menunjukkan rasa penyesalan dan rasa bersalahmu setiap saat kau bertemu dengan meraka di jalanan. Doakan saja mereka hal-hal yang terbaik. Bersihkan hatimu dan maafkan temanmu si pedagang sayuran itu. Maafkan dia. Maafkan dia. Maafkan dia. Lalu mulailah dengan kehidupanmu yang baru, kau bisa kembali menjadi petani bunga, atau menjadi penulis sepertiku, atau apa saja yang kau mau dan kau yakin kau mampu tanpa ada ragu. Tetapi untuk sementara waktu jangan sentuh sayuran-sayuran itu karena hatimu masih rapuh. Itu saja yang harus kau lakukan. Selanjutnya serahkan semuanya kepada Tuhan, biarkan Dia yang menyelesaikan.”
Sahabatku mengangguk perlahan. “Aku baru saja mau menanyakannya, tetapi kau ternyata sudah menjawab sebelum pertanyaan itu sempat kulontarkan. Terima kasih, kau sungguh mengerti diriku.”
“Itulah seorang teman/sahabat. Apabila tidak bisa begitu jangan pernah mengatakan bahwa kau adalah seorang teman/sahabat.”
tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar